Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang terkenal dengan kebudayaan dan keindahan alamnya. Bali juga memiliki sistem sosial yang unik dan berbeda dengan daerah lain di Indonesia, yaitu sistem kasta. Sistem kasta adalah pembagian masyarakat berdasarkan kelompok sosial yang ditentukan oleh keturunan, pekerjaan, dan status. Sistem kasta di Bali berasal dari pengaruh Hindu yang masuk ke pulau ini sejak abad ke-8 Masehi.
Sistem kasta di Bali disebut juga dengan Catur Warna, yang berarti empat warna. Ada empat kasta utama di Bali, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Masing-masing kasta memiliki peran, fungsi, dan hak yang berbeda dalam masyarakat. Sistem kasta di Bali juga mempengaruhi bahasa, nama, perkawinan, dan upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali.
Namun, sistem kasta di Bali tidak selalu kaku dan baku. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak perubahan dan penyesuaian yang terjadi dalam sistem kasta di Bali. Banyak orang Bali yang tidak lagi memperhatikan status kasta dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pula orang Bali yang menikah dengan orang dari kasta atau agama yang berbeda. Banyak juga orang Bali yang bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan kastanya.
Lalu, bagaimana sebenarnya sistem kasta di Bali? Apa saja perbedaan antara empat kasta utama di Bali? Bagaimana pengaruh sistem kasta terhadap kehidupan modern di Bali? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memberikan informasi lengkap dan mendalam tentang urutan kasta di Bali.
Apa itu Sistem Kasta?
Sistem kasta adalah sistem pembagian masyarakat berdasarkan kelompok sosial yang ditentukan oleh keturunan, pekerjaan, dan status. Sistem kasta berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu varna, yang berarti warna. Sistem kasta awalnya berkembang di India sebagai bagian dari ajaran Hindu. Menurut Hindu, ada empat varna atau warna utama yang mencerminkan sifat dan peran manusia dalam masyarakat, yaitu:
- Brahmana: warna putih, melambangkan kesucian, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Brahmana adalah kasta tertinggi yang berperan sebagai pendeta, guru, dan cendekiawan.
- Ksatria: warna merah, melambangkan keberanian, kekuasaan, dan kemuliaan. Ksatria adalah kasta kedua yang berperan sebagai penguasa, pejuang, dan bangsawan.
- Waisya: warna kuning, melambangkan kemakmuran, kesejahteraan, dan kreativitas. Waisya adalah kasta ketiga yang berperan sebagai pedagang, pengusaha, dan petani.
- Sudra: warna hitam, melambangkan ketidakmurnian, ketidaktahuan, dan kerendahan. Sudra adalah kasta terendah yang berperan sebagai buruh, tukang, dan pelayan.
Sistem kasta di India kemudian berkembang menjadi lebih rumit dengan adanya sub-kasta atau jati yang berjumlah ribuan. Sub-kasta ini ditentukan oleh faktor-faktor seperti daerah asal, sekte agama, profesi spesifik, dll. Sub-kasta ini juga memiliki aturan-aturan sendiri mengenai hubungan sosial, perkawinan, makanan, dll.
Sistem kasta di India juga mengenal konsep karma dan reinkarnasi. Karma adalah hukum sebab-akibat yang menentukan nasib seseorang di dunia ini dan akhirat. Reinkarnasi adalah proses kelahiran kembali setelah kematian. Menurut Hindu, seseorang dapat lahir kembali ke kasta yang lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari karma yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Oleh karena itu, seseorang harus menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kastanya agar mendapatkan karma yang baik.
Sistem kasta di India memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat India. Sistem kasta juga menimbulkan banyak masalah dan ketidakadilan bagi orang-orang yang berada di kasta rendah atau di luar sistem kasta. Orang-orang ini disebut dengan Dalit atau orang-orang terbuang. Mereka sering mengalami diskriminasi, penindasan, kekerasan, dan kemiskinan.
Sejarah Sistem Kasta di Bali
Sistem kasta di Bali tidak lepas dari pengaruh Hindu yang masuk ke pulau ini sejak abad ke-8 Masehi. Hindu masuk ke Bali melalui jalur perdagangan maritim antara India dan Asia Tenggara. Hindu membawa serta ajaran-ajaran Veda yang menjadi dasar dari sistem kasta.
Pada abad ke-14 Masehi, terjadi peristiwa penting yang memperkuat sistem kasta di Bali. Peristiwa itu adalah runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa akibat serangan Kerajaan Demak yang beragama Islam. Banyak anggota keluarga kerajaan Majapahit yang beragama Hindu melarikan diri ke Bali untuk menghindari Islamisasi. Mereka membawa serta budaya dan tradisi Jawa yang dipengaruhi oleh sistem kasta.
Keluarga kerajaan Majapahit ini kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan baru di Bali dengan mengklaim diri sebagai keturunan
Dewa Agung atau Deva Agung adalah gelar raja-raja Klungkung, yang paling terkemuka di antara sembilan kerajaan Bali. Gelar ini juga diberikan kepada anggota dinasti berpangkat tinggi lainnya. Istilah Dewa berarti “dewa” dan juga merupakan sebutan umum untuk anggota kasta ksatria. Agung diterjemahkan sebagai “tinggi” atau “hebat”. Secara harafiah, gelar itu berarti Tuhan yang Agung.
Para penguasa Gelgel, yang mengklaim kekuasaan atas seluruh Bali dan wilayah sekitarnya hingga akhir abad ke-17, biasanya dikenal dengan gelar kerajaan Dalem, secara harfiah berarti “di dalam”. Setelah tahun 1686, keturunan garis Gelgel lama tinggal di Istana Klungkung, beberapa kilometer di utara Gelgel, dan mengambil gelar baru. Kekuasaan mereka meliputi wilayah kecil di sekitar istana, dan pulau Nusa Penida. Mereka diakui oleh raja-raja Bali lainnya sebagai memiliki kedudukan tertinggi dalam urutan kasta, meskipun kemampuan mereka untuk mengendalikan raja-raja lain sangat terbatas.
Salah satu faktor penting yang menopang otoritas garis keturunan Dewa Agung adalah kepemilikan benda-benda pusaka (warisan) yang diyakini memiliki kemampuan magis. Sebuah perjanjian dengan Hindia Belanda ditandatangani pada tahun 1843, dan seharusnya menempatkan Klungkung di bawah kedaulatan Belanda. Perjanjian dengan kerajaan-kerajaan Bali lainnya juga ditandatangani pada saat yang sama. Kontroversi mengenai interpretasi perjanjian-perjanjian ini menyebabkan tiga ekspedisi Belanda ke pulau ini pada tahun 1846, 1848 dan 1849. Ekspedisi tahun 1849 berhasil mengalahkan kerajaan-kerajaan Buleleng dan Karangasem dan kemudian menyerbu wilayah Klungkung. Tentara Belanda menghadapi kesulitan ketika jenderal komandan A. V. Michiels terbunuh oleh prajurit Klungkung. Sebuah perjanjian damai pun terjadi yang meninggalkan kerajaan-kerajaan Bali selatan otonom di bawah kedaulatan Belanda.
Setelah tahun 1900, kebijakan kolonial Belanda menjadi lebih aktif, dan bermaksud untuk menekan posisi hampir mandiri yang dinikmati oleh para penguasa di sebagian besar wilayah Indonesia. Sebagai bagian dari ini, Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz mulai campur tangan dalam urusan Bali. Dewa Agung Jambe II tiba di Gianyar untuk bernegosiasi dengan Belanda selama intervensi Belanda di Bali (1906). Dewa Agung terakhir kehilangan nyawanya dalam peristiwa yang disebut puputan Istana Klungkung pada 28 April 1908 selama intervensi Belanda di Bali (1908). Ini adalah serangan bunuh diri yang sarat ritual oleh dinasti dan pengikutnya terhadap pasukan kolonial Belanda yang bersenjata lengkap. Pada akhirnya hampir dua ratus orang Bali tewas oleh peluru Belanda atau oleh tangan mereka sendiri. Setelah peristiwa ini Klungkung ditempatkan di bawah pemerintahan langsung Belanda. Pada tahun 1929, seorang keponakan dari penguasa terakhir, Dewa Agung Oka Geg, ditunjuk sebagai bupati oleh pihak kolonial. Pada tahun 1938, statusnya dan tujuh bupati Bali lainnya ditingkatkan menjadi zelfbestuurder atau raja.
Kesimpulan
Demikianlah artikel tentang urutan kasta di Bali yang telah saya tulis. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda tentang kebudayaan Bali. Terima kasih telah membaca artikel ini sampai habis.